Contoh makalah paradigma studi islam (part 9)

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Paradigma Studi Islam secara spesifik akan mengkaji hal-hal yang berhubungan dengan perkembangan Islam, mulai dari zaman klasik hingga modern. Menurut Noeng Muhadjir (2011:520) paradigma studi Islam dimaksudkan sebagai upaya kreatif atas pemaknaan tradisional teosentris menjadi pemaknaan sesuai disiplin ilmu dan temanya. Telaah studi Islam akan terfokuskan pada studi tentang agama Islam. Studi ilmu keislaman ditelaah dari yang klasik, yang historis kritis orientalis, yang fenomenologi, yang modern, dan postmodern.
Dari sekian paradigma tersebut, yang sangat menarik untuk dikaji pada kesempatan ini ialah studi paradigma Islam. Kajian ini menjadi menarik lantaran paradigma ini masih jarang digunakan. Hampir mayoritas paradigma ini digunakan pada kalangan atau lingkungan UIN, IAIN, dan STAIN, serta lembaga pendidikan agama lainnya. Namun demikian, paradigma ini patut untuk dipelajari dan dipahami, sehingga dapat dijadikan alternatif baru dalam pembahasan makalah ini.
Islam yang diimani jutaan orang di seluruh belahan dunia merupakan jalan hidup yang menjamin kebahagiaan hidup bagi setiap pemeluknya di dunia maupun di akhirat nanti. Islam mempunyai satu sendi utama yang mendasar yaitu berfungsi sebagai petunjuk ke jalan yang benar. Semua orang islam yakin sepenuh hati bahwa konsep apapun di dalam islam akan membawa kemaslahatan hidup di dunia maupun di akhirat kelak, termasuk konsep pendidikan.
Adapun mengenai pembahasan paradigma studi Islam selengkapnya akan diuraikan dalam makalah ini. Tema-tema pokok yang akan dibahas yaitu hakikat studi Islam, sejarah perkembangan studi Islam.
Dengan segala kekurangan yang ada, penulis mencoba membahasnya dan berharap ide pemikiran ini menjadi batu bata kearifan bagi bangunan pendidikan di Indonesia walaupun kenyataannya penulis hanya sebutir pasir di hamparan pantai yang luas membentang.

B. Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah di dalam makalah ini adalah :
1. Apakah Pengertian Paradigma Pendidikan Islam dan Hakikat Studi Islam?
2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Studi Ilmu Keislaman?

C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan Pengertian Paradigma Pendidikan Islam dan Hakikat Studi Islam.
2. Menjelaskan Sejarah Perkembangan Studi Ilmu Keislaman.













BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Paradigma Pendidikan Islam
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subyektif seseorang mengenai realita dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu. Paradigma merupakan istilah yang dipopulerkan Thomas Khun dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution (Chicago: The Univesity of Chicago Prerss, 1970). Paradigma di sini diartikan Khun sebagai kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Pemikir lain seperti Patton (1975) mendefinisikan pengertian paradigma hampir sama dengan Khun, yaitu sebagai “a world view, a general perspective, a way of breaking down of the complexity of the real world” Kemudian Robert Friedrichs (1970) mempertegas definisi tersebut sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang ilmu pengetahuan.
Masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat penting dan tidak bisa dipisahkan dari seluruh rangkaian kehidupan manusia. Kebanyakan manusia memandang pendidikan sebagai sebuah kegiatan mulia yang akan mengarahkan manusia pada nilai-nilai yang memanusiakan. Pandangan bahwa pendidikan sebagai kegiatan yang sangat sakral dan mulia telah lama diyakini oleh manusia. Namun di dekade 70-an dua orang tokoh pendidikan, yaitu Paulo Freire dan Ivan Illich melontarkan kritik yang sangat fundamental tentang asumsi tersebut. Mereka menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan yang selama ini disakralkan dan diyakini mengandung nilai-nilai kebajikan tersebut ternyata mengandung penindasan.
Pendidikan merupakan suatu perbuatan, tindakan, dan praktek. Namun, demikian pendidikan tidak dapat diartikan sebagai satu hal yang mudah, sederhana, dan tidak memerlukan pemikiran. Karena istilah pendidikan sebagai praktek, mengandung implikasi pemahaman akan arah dan tujuannya.2 Karenanya proses pendidikan itu bukan hanya sekedar lahiriah dan suatu prilaku kosong saja. Pendidikan tidak diarahkan untuk pendidikan itu sendiri, melainkan diarahkan untuk pencapaian maksud, arah, dan tujuan di masa yang akan datang. Dengan demikian, dimensi waktu dalam pendidikan tidak hanya terbatas pada waktu sekarang, yaitu saat berlangsung pendidikan tersebut. Tetapi, pendidikan diarahkan pada sikap, prilaku, dan kemampuan serta pengetahuan yang diharapkan akan menjadi pegangan bagi anak didik dalam melaksanakan tugas hidupnya secara bertanggung jawab dan dapat menjadi manusia yang seutuhnya, sebagaimana yang menjadi tujuan utama dalam pendidikan.
Menurut Muhammad Iqbal, pendidikan bukan hanya proses belajar mengajar belaka untuk mentransformasikan pengetahuan dan berlangsung secara sederhana dan mekanistik. Melainkan, pendidikan adalah keseluruhan yang mempengaruhi kehidupan perseorangan maupun kelompok masyarakat, yang seharusnya menjamin kelangsungan kehidupan budaya dan kehidupan bersama memantapkan pembinaan secara intelegen dan kreatif. Proses pendidikan ini mencakup pembinaan diri secara integral untuk mengantarkan manusia pada kesempurnaan kemanusiannya tanpa mesti terbatasi oleh sistem transformasi pengetahuan secara formal dalam lingkungan akademis. Pada akhirnya, pendidikan dalam arti luas mencakup penyelesaian masalah-masalah manusia secara umum dan mengantarkan manusia tersebut pada tujuan hidupnya yang mulia.
Menurut Freire, pendidikan bukan hanya kegiatan pengembangan kognitif anak didik, melainkan pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan cinta dan keberanian. Sesungguhnya menurut Freire, pendidikan ialah tindakan cinta kasih dan karena itu juga merupakan tindakan berani. Pendidikan tidak boleh membuat orang yang akan menganalisis realitas menjadi takut.
Kualitas yang dihasilkan dari output pendidikan sangat ditentukan oleh proses yang terjadi dalam interaksi pendidikan. Keseluruhan proses dan metode dalam pendidikan didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan tersebut. Sedangkan tujuan pendidikan ditentukan berdasarkan pilihan paradigma yang dijadikan dasar dalam pendidikan. Dari asumsi tersebut terlihat betapa paradigma dalam pendidikan menjadi sesuatu hal yang fundamental dan menentukan hasil dari pendidikan. Baik dan buruknya output dari pendidikan sangat ditentukan oleh paradigma pendidikan yang dianut.
Dalam pelaksanaan pendidikan sebagai proses timbal balik antara pendidik dengan anak didik melibatkan faktor-faktor pendidikan guna mencapai tujuan tujuan pendidikan dengan didasari nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tertentu itulah kemudian disebut sebagai dasar paradigma pendidikan. Istilah dasar paradigma pendidikan dimaksudkan sebagai landasan tempet berpijak atau pondasi berdirinya suatu sistem pendidikan.
Dasar paradigma pendidikan Islam identik dengan dasar Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Al-quran dan al-Hadis. Dari kedua sumber inilah kemudian muncul sejumlah pemikiran mengenai masalah umat Islam yang meliputi berbagai aspek, termasuk di antaranya masalah pendidikan Islam. (Muhaimin, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan pemikirannya). Sebagai dasar pendidikan Islam Al-Quran dan Al-Hadis adalah rujukan untuk mencari, membuat dan mengembangkan paradigma, konsep, prinsip, teori, dan teknik pendidikan Islam.
Ahmad Tafsir (1994) menyatakan bahwa pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan, baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di bumi. Karena fungsi pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik dengan kemampuan dan keahlian yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat. Dalam lintasan sejarah peradapan Islam peran pendidikan ini benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang Jazirah Arab hingga Eropa Timur. Untuk itu adanya sebuah paradigma pendidikan yang memberdayakan peserta didik erupakan sebuah keniscayaan. Kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam tidak lepas dari adanya sistem dan paradigma pendidikan yang dilaksanakan pada masa itu.
Dari gambaran kejayaan dunia pendidikan Islam terdapat beberapa hal yang dapat digunakan untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam dari pasif-defensif menjadi aktif-progre intelektual senantiasa dilandasi oleh, Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifatas pendidikan di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama, di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas adalah upaya menegakan agama dan mencari ridlo Allah. Kedua, adanya perimbangan antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan adalah kecenderungan untuk lebih menitikberatkan pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non agama dalam dunia Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat.
Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal. Karena selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Dengan menghilangkan, minimal membuka kembali sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas yang tentunya akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Keempat, Mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi dapat diaplikasikan dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu manghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan zaman dan peka terhadap lingkungan.
Kelima, Adanya perhatian dan dukungan dari para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan dukungan dari pemerintah akan mempercepat penemuan kembali peradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan pendewasaan umat.

B. Hakikat Studi Islam
Sebelum memasuki pembahasan paradigma studi Islam dalam penelitian, akan diuraikan terlebih dahulu hakikat studi Islam, supaya terbangun persepsi yang sama dalam memaknai studi Islam. Dalam pembahasan ini meliputi: pengertian studi Islam, tujuan studi Islam, dan sumber-sumber studi Islam. Dengan uraian ini, maka akan mempermudah dalam memahami paradigma studi Islam yang akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya.
1.  Pengertian studi Islam
Kata studi Islam berasal dari bahasa Arab yaitu dirasat al-Islamiah yang artinya pendidikan atau pengkajian tentang Islam. Adapun dalam bahasa inggris studi Islam sering disamakan dengan istilah Islamic studies. Pengrtian studi Islam sebagai kajian Islam sesungguhnya memiliki cakupan makna dan penertian yang luas. Studi Islam secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama islam. Usaha mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang diluar kalangan umat islam (Muhaimin, dkk: 2012:1).
Apabila dikaitkan dengan pengertian pendidikan, studi islam dapat dimaknai sebagai usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami, serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang behubungan dengan Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, studi Islam lebih mengajarkan dan menjelaskan tentang seluruh ajaran agama Islam, mulai dari sederhana sampai pada yang kompleks.
2.  Tujuan studi Islam
Dalam pengkajian studi Islam ada beberapa tujuan yang ingin dicapai setelah mempelajarinya. Adapun tujuan-tujuan studi Islam yang dimaksud adalah:
a.  Untuk mempelajari secara mendalam tentang apa sebenarnya (hakikat) agam Islam itu, dan bagaimana posisi serta hubungannya dengan agama-agama lain dalam kehidupan budaya manusia.
b.  Untuk mempelajari secara mendalam pokok-pokok isi ajaran agama Islam yang asli, dan bagaimana penjabaran dan operasionalisasinya dalam pertumbuhan dan perkembangan budaya peradaban islam sepanjang sejarahnya. Studi ini berasumsi bahwa agama Islam adalah fitrah sehingga pokok-pokok isi ajaran agama Islam tentunya sesuai dan cocok dengan fitrah manusia. Fitrah adalah potensi dasar, pembawaan yang ada, dan tercipta dalam proses pencipataan manusia.
c.  Untuk mempelajari secara mendalam sumber dasar ajaran agama Islam  yang tetap abadi dan dinamis, dan bagaimana aktualisasinya sepanjang sejarahnya. Studi ini berdasarkan asumsi bahwa agama Islam sebagai agama samawi terakhir membawa ajaran yang bersifat final dan mampu memecahkan masalah kehidupan manusia, menjawab tantangan dan tuntutannya sepanjang zaman.
d. Untuk mempelajari secara mendalam prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar ajaran agama Islam, dan bagaimana realisasinya dalam membimbing dan mengarahkan serta mengontrol perkembangan budaya dan peradaban manusia pada zaman modern ini. Asumsi dari studi ini adalah, Islam yang meyakini mempunyai misi sebagai rahmah li al-‘alamin tentunya mempunyai prinsip dasar yang bersifat universal, dan mempunyai daya dan kemampuan untuk membimbing, mengarahkan dan mengendalikan factor-faktor potensial dari pertumbuhan dan perkembangan system budaya dan peradaban modern (Muhaimin, dkk. 2012: 9-12).
3.  Ruang lingkup studi Islam
Ruang lingkup pembahasan studi Islam secara umum tidak jauh berbeda dengan yang telah termuat dalam definisi studi Islam. Menurut Amin Abdullah, sebagaimana dikutip Ngainun Naim (2009:7-8) ruang lingkup studi Islam meliputi beberapa objek kajian berikut ini:
a.  Wilayah praktek keyakianan dan pemahaman terhadap wahyu yang telah diinterpretasikan sedemikian rupa oleh para ulama, tokoh panutan masyarakat pada umumnya. Wilayah praktek ini umumnya tanpa melalui klarifikasi dan penjernihan teoritik keilmuan yang di pentingkan disisni adalah pengalaman.
b.  Wilayah tori-teori keilmuan yang dirancang dan disusun sistematika dan metodologinya oleh para ilmuan, para ahli, dan para ulama sesuai bidang kajiannya masing-masing. Apa yang ada pada wilayah ini sebenarnya tidak lain dan tidak bukan adalah “teori-teori” keilmuan agama islam, baik secara deduktif dari nash-nash atau teks-teks wahyu, maupun secara induktif dari praktek-praktek keagamaan yang hidup dalam masyarakat era kenabian, sahabat, tabi’in maupun sepanjang sejarah perkembangan masyarakat muslim dimanapun mereka berada.
c.  Telaah teoritis yang lebih popular disebut metadiscourse, terhadap sejarah perkembangan jatuh bangunnya teori-teori yang disusunoleh kalangan ilmuan dan ulama pada lapis kedua. Wilayah pada lapis ketiga yang kompleks dan sophisticated inilah yang sesungguhnya dibidangi oleh filsafat ilmu-ilmu keislaman.
Menurut M.Atho’ Mudzhar menyatakan bahwa obyek kajian Islam adalah substansi ajaran-ajaran Islam, seperti kalam, fiqih dan tasawuf. Dalam aspek ini agama lebih bersifat penelitian budaya hal ini mengingat bahwa ilmu-ilmu keislaman semacam ini merupakan salah satu bentuk doktrin yang dirumuskan oleh penganutnya yang bersumber dari wahyu Allah melalui proses penawaran dan perenungan (Ngainun Naim, 2009:9).
4.  Sumber-sumber studi Islam
Dalam pembahasan studi Islam sumber-sumber yang dijadikan pedoman utama ialah al-Qur’an dan al-Hadits. Kedua sumber hukum ini merupaka yang paling utama dan pertama diyakini kebenarannya, karena bersumber dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Seandainya suatu persoalan studi Islam tidak terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits, barulah ditentukan melalui ijtihad dan ijma’ para ulama’.
Lebih jelasnya mengenai sumber-sumber hukum Islam, berikut pembahasan selengkapnya:
a.  Al-Qur’an
Secara bahasa al-Qur’an memiliki makna bacaan. Adapun secara istilah al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril dan membacanya termasuk ibadah. Dalam studi Islam, al-Qur’an memiliki banyak kedudukan, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Ahmad dan Mudzakir (2000) sebagai berikut:
Sebagai sumber hukum Islam yang pertama dan paling utama.
Sebagai sumber berbagai disiplin keilmuan.
Sebagai pedoman hidup manusia ketika di dunia.
Sebagai mukjizat terbaik Nabi Muhammad SAW.
Sebagai pembeda antara yang hak dan batil.
Sebagai penyempurna kitab-kitab yang telah diwahyukan Allah SWT sebelumnya.
Sebagai obat bagi segala penyakit yang diderita manusia, khususnya penyakit hati.
Sebagai motivasi umat Islam dalam menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.
Sebagai bukti kebenaran ajaran Islam.
Di samping kedudukan-kedudukan yang telah tersebut di atas, tentu masih terdapat banyak kedudukan al-Qur’an lain yang tidak dapat disebutkan dalam pembahasan ini, karena keterbatasan ilmu penulis. Oleh karena itu, supaya dapat lebih memahami studi Islam, perlu mempelajari al-Qur’an secara lebih mendalam.
b.  Al-Hadits
Secara bahasa al-Hadits memiliki arti sabda, baru, dan berita. Adapun secara istilah al-Hadits dapat maknai sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun ketetapan. Sebagaimana al-Qur’an, al-Hadits juga mempunyai banyak kedudukan dalam ajaran Islam, di antaranya:
Sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an.
Sebagai bukti keshalihan Nabi Muhammad SAW.
Sebagai sarana menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam al-Qur’an (bayan al-taqrir).
Sebagai penjelas atau memperinci kandungan ayat-ayat yang mujmal (bayan tafshil).
Sebagai penjelas yang membatasi ayat-ayat yang bersifat mutlak dengan sifat, keadaan atau syarat-syarat tertentu (bayan taqyid).
Sebagai penjelas yang mengkhususkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum (bayan takhshish).
Sebagai penjelasan hukum yang belum terdapat dalam al-Qur’an (bayan tasyri).
c.  Ijtihad
Ijtihad secara bahasa artinya adalah sungguh-sungguh. Menurut istilah ijtihad dimaknasi sebagai usaha sungguh-sungguh dalam menentukan hukum Islam yang tidak terdapat ketentuannya di dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Ijtihad dapat dilakukan oleh seseorang yang memiliki keilmuan cukup baik dalam memami al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam penentuan hukum melalui ijtihad ini secara subtansial tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadits.
Ijtihad dapat dilakukan dengan berbagai cara oleh para ulama’. Adapun cara-cara dalam melakukan ijtihad dapat berupa: ijma’, qias, dan maslahah mursalah. Semua itu dalam rangka untuk mencari kebenaran yang sesuai dengan ketetapan al-Qur’an maupun al-Hadits.


C.  Sejarah Perkembangan Studi Ilmu Keislaman
Berbicara masalah sejarah perkembangan Islam, tentu tidak bisa terlepas dari berbagai dinamika yang terjadi dalam Islam. Dengan kata lain, perkembangan Islam telah melewati beberapa masa, dan masing-masing masa memiliki corak perkembangan yang berbeda-beda. Adapun beberapa sejarah perkembangan studi ilmu keislaman akan diuraikan sebagai berikut:


1. Studi Islam klasik
Menurut Noeng Muhadjir (2011:250) studi Islam klasik mencakup setidak-tidaknya enam cabang ilmu, yaitu ulumul Qur’an, ulumul Hadits, ilmu Hukum, ilmu Kalam atau Teologi, Tasawuf dan Filsafat. Enam cabang ilmu ini merupakan bagian dari identitas ajaran Islam yang tidak bisa terlepaskan dari studi Islam. Oleh karena itu, siapun yang ingin mendalami tentang Islam, seyogyanya mempelajari keenam cabang ilmu Islam tersebut.
Pertama, ulumul Qur’an merupakan sebuah kajian keilmuan yang banyak membahas tentang al-Qur’an. Ismail al-Faruqi membagi kajian ulumul Qur’an menjadi lima, yaitu: a) studi qira’ah atau resitasi, b) studi tentang asbaab al nuzul atau konteks saat turunnya wahyu, c) studi tentang ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah, d) studi tentang tafsir al-Qur’an, dan e) ilmu tentang istinbaat al-ahkam atau ilmu tentang al-Qur’an sebagai sumber hukum.
Kedua, ulumul Hadits merupakan kajian yang membahas tentang ilmu-ilmu hadits. Hadits merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Adapun pembahasan-pembahasan dalam ulumul hadits, meliputi: a) riwayat hadits atau riwayat kejadiannya dan siapa saja yang menyampaikannya, b) rijaal al-Hadits atau ilmu yang menelusuri biografi para penyampai hadits, c) al-jarh wal ta’diil atau ilmu yang menguji keterpercayaan para penyampai hadits, d) ‘ilal hadits atau situasi sejarah pada masa hadits itu disampaikan, e) mukhtalaf al-hadits atau ilmu tentang keserasian antara hadits dengan bahasa dari hadits dengan bahasa dari al-Qur’an, dan f) studi tentang hasil kerja dari enam ahli hadits.
Ketiga, ilmu hukum merupakan kajian yang mempelajari tentang hukum Islam atau ilmu yang mengatur muamalah manusia, yang kemudian dirangkum dalam pembahasan usul fiqih atau dasar-dasar fiqih. Dalam konteks ini yang menjadi sumber hukum Islam meliputi: al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’, Qias (analogi), dan istihsan (penalaran). Adapun hukum-hukum yang mengatur muamalah manusia, yaitu wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram.
Keempat, ilmu kalam merupakan salah satu cabang dalam studi klasik Islam. Ilmu ini mempelajari pemikiran-pemikiran filsafat dan teologi dalam Islam. Ilmu kalam muncul akibat adanya perbedaan penafsiran tentang aqidah, kepemimpinan sepeninggalan Rasulullah, dan pengaruh filsafat Yunani. Adapun beberapa aliran dari ilmu kalam, meliputi: paham Qadariyah, Jabariyah, Mu’tazilah, al-Asy’ariyah, al-Khwarij, al-Sifatiyah, dan al-Salafiyah.
Kelima, ilmu tasawuf merupakan cabang ilmu Islam klasik yang mengajarkan tentang menjaga dan membersihkan jiwa dari pengaruh kebendaan, supaya mudah mendekatkan diri kepada Allah SWT. Perbedaan antara tasawuf dan filsafat ialah tasawuf lebih menggunakan rasa, sedangkan filsafat menggunakan akal (rasio). Orang yang ahli tasawauf sering dikenal dengan istilah sufi.
Keenam, studi filsafar hellenistik. Maksudnya mempelajari beragam karya umat Islam dengan pendekatan filsafati Yunani. Misalnya, al-Kindi yang mendekati Islam dengan pendekatan rasional filsafati.
Keenam cabang ilmu tersebut merupakan pembagian dari studi Islam klasik. Artinya, semua itu sudah ada dan dikenal dalam Islam semenjak dahulu, serta telah dipelajari oleh banyak tokoh Islam, mulai masa shahabat sampai sekarang. Selain itu, cabang ilmu tersebut merupakan dasar-dasar keilmuan dalam memahami ajaran agama Islam secara sempurna.
2.  Studi Islam orientalis
Studi Islam orientalis sangat berkaitan dengan kaum Barat. Kata orientalis sering dikaitkan dengan dunia Barat. Kata ini sering digunakan oleh para ilmuwan yang mempelajari tentang budaya, bahasa dan adat-istiadat bangsa-bangsa Asia, Afrika, dan pribumi Amerika Serikat dan Australia. Artinya, dalam melihat budaya, bahasa, dan adat-istiadat sering menggunakan kacamata dan kriteria Barat.
Studi Islam orientalis biasanya berangkat dari studi antropologis. Para orientalis berangkat dari konseptualisasi teoritis atau berangkat dari rekayasa persepsi Barat. Kebencian dunia Barat terhadap Islam yang mengalahkan kristen dalam Perang Salib, menghasilkan sikap antipati pada Islam. Mendeskripsikan Muhammad sebagai nabi palsu, penipu yang lihai, memperlihatkan cara hidup yang tidak bermoral, dan lain-lain.
Dalam masa kolonialisme Barat ke Timur, studi Islam menjadi bagian dari studi antropologis untuk tujuan penjajahan. Pendekatan orientalis mendudukkan agama sebagai gejala sosial dan gejala psikologis.
3.  Historisme kritis
Secara umum akar historisme kritis sama dengan orientalisme yang menggunakan pendekatan positivistik. Historisme mencari asal-usul agama bukan dari wahyu, melainkan bersumber pada kesadaran psikis manusia. Dalam konteks ini yang menjadi landasan historisme kritis adalah psikoanalisis dari Freud, seperti: frustasi, stres, kompensasi, dan neurosis.
Dalam studi agama Islam, historisme tampil dalam wujud menganalisis al-Qur’an dan Rasulullah Muhammad SAW. Dalam interpretasi asal-usul empirik, tidak mengakui bahwa keduanya adalah penetapan Allah SWT. Al-Qur’an dilihat hanyalah karya sastra hebat dari Muhammad; ajaran Islam hanyalah imitasi dari ajaran Musa, ajaran Ibrahim, dan ajaran Isa as.
4. Studi Islam phenomenologi
Studi Islam dengan pendekatan fenomenologi sering pula disebut dengan istilah Islamologi. Tokoh-tokohnya antara lain: Goldziher dan snouck Hurgronje. Metodologi penelitian fenomenologi pada umumnya menolak pandangan positivisme. Menurut pandangan fenomenologi ilmu itu haruslah value-bond, mempunyai hubungan dengan nilai, harus berlandaskan dan diorientasikan pada nilai-nilai seperti kemanusiaan, keadilan, dan nilai efisiensi serta efektif.
5.  Studi Islam kontekstual
Studi Islam kontekstual merupakan kajian keislaman yang sesuai dengan perkembangan zaman. Artinya, apa yang dipelajari dan dibahas mengacu pada informasi kekinian, sehingga Islam sangat cocok untuk segala masa kehidupan manusia. Dalam konteks ini, Noeng Muhadjir (2011:256) mengartikan kontekstual menjadi tiga pengertian, yaitu: 1) kontekstual diartikan sebagai upaya pemaknaan menanggapi masalah kini yang umumnya mendesak sehingga arti kontekstual sama dengan situasional. 2) pemaknaan kontekstual disamakan dengan melihat keterkaitan masa lampau-kini-mendatang. 3) pemaknaan kontekstual berarti mendudukkan keterkaitan antara yang sentral dengan yang perifer. Pemaknaan yang ketiga ini dapat dicontohkan bahwa yang sentral merupakan teks al-Qur’an dan yang perifer berupa penerapan teks al-Qur’an tersebut.
Dalam studi Islam ini, terdapat dua metode yang ditawarkan oleh Mukti Ali dalam Noeng Muhadjir (2011:256), yaitu mempelajari al-Qur’an dan mempelajari sejarah Islam; serta menggabungkan antara studi tekstual dengan kontekstual. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa studi tekstual menggunakan pendekatan formal legalistik, mencari kebenaran dengan mengembalikan kepada teks al-Qur’an.
6.  Studi Islam Multidisipliner dan interdispliner
Studi Islam multidisipliner dan interdisipliner merupakan bentuk kajian keislaman yang menyangkut semua aspek keilmuan – baik ilmu berbasis agama maupun ilmu berbasis keduniaan – yang semuanya diajarkan dalam agama Islam. Menurut Noeng Muhadjir (2011:260) studi Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu studi Islam teologis dan studi Islam interdisipliner. Studi Islam teologis merupakan studi yang biasa dikenal di pondok pesantren tradisional, di madrasah, dan di lembaga pendidikan tinggi Islam tradisional. Yang mana semuanya menghasilkan orang-orang yang ahli agama Islam.
Sedangkan studi Islam interdisipliner (multidisipliner) merupakan studi Islam yang menghasilkan ahli hukum, ahli ekonomi, ahli pendidikan, ahli teknik, ahli fisika yang memiliki wawasan dasar Islam, dan mampu menampilkan konsep-konsep yang Islami, mengembangkan bioteknologi yang Islami, sistem perbankan yang Islami, serta menerapkan etik kedokteran yang Islami.
Pengembangan studi Islam interdisipliner dan multidipliner ini sangat dipengaruhi oleh berbagai perkembangan masa, di antaranya: renaissance dan agama di Eropa, zaman keemasan Islam dan ilmu, kebangkitan Islam abad ke 15 Hijriyah, dan berbagai masa yang mengkaji berbagai ilmu dalam konsep keislaman. Jadi studi Islam interdisipliner dan multidisipliner ini merupakan kajian keislaman yang menampilkan konsep-konsep keilmuan berakar dari sudut pandang ajaran Islam.

BAB III
P E N U T U P


Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah diuraikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa paradigma studi Islam ialah sebagai upaya kratif atas pemaknaan tradisional teosentris menjadi telaah kreatif dalam memaknai logika bahasa yang teosentris menjadi pemaknaan sesuai disiplin ilmu atau temanya.

Paradigma keilmuan Islam perlu dibangun dengan menggunakan tiga titik, yaitu kauniyah atau keteraturan alam semesta, nafsiyah atau kreativitas manusia, dan tafsir qauliyah atau upaya membuat interpresi atas firman Allah SWT. Dengan langkah ini, maka pemahaman tentang keilmuan Islam akan semakin luas.









DAFTAR PUSTAKA


Muhadjir, Noeng. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin.
_____________, 2007. Metodologi Keilmuan: Paradigma Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Edisi V. Yogyakarta: Rake Sarasin.
_____________, 2011. Metodologi Penelitian: Paradigma Positivisme Objektif, Phenomenologi Interpretif, Logika Bahasa Platonis, Chomskyist, Hegelian, dan Hermeneutik, Paradigma Studi Islam, Matematik Recursion, Set-Theory, Structural Equation Modeling, dan Mixed. Edisi VI. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Muhaimin, dkk. 2012. Studi Islam dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan. Jakarta: Kencana.
Naim, Ngainun. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Teras.
http://datastudi.wordpress.com/2010/12/07/paradigma-pendidikan-dalam-perspektif-pendidikan-islam/




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh makalah Pengetahuan mistik (the last edition)

Contoh makalah pengantar filsafat ilmu (part 1)

Contoh makalah Aksiologi (part 5)